Minggu, 15 September 2013

Sejarah Kabupaten Batang

Sebagian besar wilayah Kabupaten Batang merupakan perbukitan dan pegunungan. Dataran rendah di sepanjang pantai utara tidak begitu lebar. Di bagian selatan adalah terdapat Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya Gunung Prau (2.565 meter).
Ibukota Kabupaten Batang terletak di ujung barat laut wilayah kabupaten, yakni tepat di sebelah timur Kota Pekalongan, sehingga kedua kota ini seolah-olah menyatu. Kabupaten Batang terletak pada 6° 51' 46" sampai 7° 11' 47" Lintang Selatan dan antara 109° 40' 19" sampai 110° 03' 06" Bujur Timur di pantai utara Jawa Tengah . Luas daerah 78.864,16 Ha. Batas-batas wilayahnya sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sebelah barat Kota dan Kabupaten Pekalongan.
Daftar Bupati
1.       R. Sadi Poerwopranoto, 8 April 1966 s/d 31 Mei 1967
2.       R. Harjono Prodjodirdjo, 31 Mei 1967 s/d 10 Oktober 1972
3.       Soejitno, 10 November 1972 s/d 21 Maret 1979
4.       Soekirdjo, 21 Maret 1979 s/d 1 Januari 1988
5.       Soehoed, 26 Juli 1988 s/d 26 Juli 1993
6.       Moeslich Effendi, SH, 26 Juli 1993 - 26 Juli 1998
7.       Djoko Poernomo, SH, MM, 22 Oktober 1998 - 7 Agustus 2001
8.       Bambang Bintoro, SE, 11 Februari 2002 - 2011
9.       Yoyok Riyo Sudibyo, Januari 2012 - Sekarang

Pembagian administratif
Kabupaten Batang terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Batang.
Di samping Batang, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Tulis, Subah, Gringsing (Plelen); ketiganya berada di jalur pantura serta Limpung sebagai segitiga emas pertemuan bisnis Tersono, Bawang, Bandar. Juga di selatan kota Batang ada Bandar yang saat ini berkembang pesat yang merupakan sentra penghasil cengkih, petai dan pisang.

Transportasi
Batang dilalui jalan negara jalur pantura(Jalan Daendels 1808 M) , yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi ). Meski jalan negara tersebut memiliki 5 lajur, 3 di kanan dan 2 di kiri, namun saat musim mudik lebaran terjadi kemacetan di jalur ini. Tersedia jalur alternatif untuk menghindari kemacetan ini, yaitu melalui Batang - Bandar - Blado - Reban - Bawang - Sukorejo - Parakan - Temanggung - Magelang - Jogja dan Batang - Bandar - Limpung - Tersono - Sukorejo - Weleri - Semarang.
Kabupaten Batang juga dilintasi jalur kereta api lintas utara pulau Jawa (Jakarta-Surabaya). Karena kedekatannya dengan Kota Pekalongan yang lebih besar, kebanyakan kereta api tidak berhenti di stasiun Batang. Naik kereta api melalui wilayah Kabupaten Batang sangat menarik dan tidak membosankan, karena rel berada tepat di tepi pantai yang memiliki pemandangan indah.
Terminal angkutan Bus terpenting di Kabupaten Batang adalah Terminal Banyuputih dan Terminal Limpung yang selalu ramai disinggahi bus antar kota . Sedangkan Bus Antar Kota-antar propinsi akan singgah untuk istirahat di banyak restaurant di Kecamatan Gringsing .
Terminal angkutan barang / truk ada di Banyuputih dan Timbang , sehngga Batang yang terletak di pertengahan pulau Jawa selalu disinggahi truk-truk barang antar pulau di Indonesia .

Perekonomian
Posisi wilayah Kabupaten Batang berada pada jalur ekonomi pulau Jawa sebelah utara. Arus transportasi dan mobilitas yang tinggi di jalur pantura memungkinkan berkembangnya kawasan tersebut yang cukup prospektif di sektor jasa transit dan transportasi.
Kondisi wilayah Kabupaten Batang yang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan, menjadikan Kabupaten Batang berpotensi yang sangat besar untuk agroindustri, agrowisata dan agribisnis.

Potensi Investasi
Terdapat banyak industri tekstil di wilayah Kabupaten Batang, dari skala rumah tangga sampai industri berorientasi ekspor, antara lain PT Primatex dan PT Saritex. Wilayah Kabupaten Batang sangat strategis dari sisi ekonomi, karena dilewati oleh jalur perdagangan nasional, jalan pantura. Wilayahnya yang memiliki garis pantai yang terhitung panjang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan maupun pelabuhan kargo untuk barang-barang hasil produksi industri setempat.
Rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jaringan transmisi gas bumi dari Cirebon, Jawa Barat ke Gresik, Jawa Timur memiliki potensi tumbuhnya industri besar disepanjang jalur pipa gas tersebut. Pasokan listrik di wilayah Batang juga dapat diandalkan, karena dilewati oleh jaringan SUTET milik PT PLN (persero). Di beberapa wilayah juga memiliki potensi energi hidro yang dapat dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
Wilayah Batang yang sangat luas, dengan sejarah bencana geologi yang hampir tidak ada, ditunjang sumber daya manusia yang melimpah akan menguntungkan bagi investor yang hendak membangun industri di wilayah ini.

Wisata
Kabupaten Batang memiliki wilayah yang kaya akan sumber daya alam, hutan dan laut, sehingga sangat strategis untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Beberapa objek wisata antara lain:
·         Agrowisata Salak Sodong
Terletak di Desa Sodong Kecamatan Wonotunggal dengan jarak ± 17 km dari ibu kota Kabupaten Batang dengan ketinggian 600 - 800 m dari permukaan laut. Desa Sodong memiliki potensi yang dalam pembangunan yaitu Curug dan Agrowisata Salak Sodong, selain itu juga dikenal sebagai penghasil kapulogo, panili, dan cengkeh. Salak Sodong pada tahun 1999 pernah menjadi juara lomba buah Tingkat Jawa Tengah.
·         Curug Genting
Curug Genting terletak di wilayah Kecamatan Blado, kurang lebih 38 km ke arah selatan dari Kota Batang. Air terjun indah dengan ketinggian 40 m ini dikelilingi hutan pinus. Dengan udara yang masih segar dan alam pedesaan alami menghijau, Curug Genting sangat cocok sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan.
·         Curug Gombong
Air terjun dengan ketinggian 13 m membelah batuan berlapis rata alami (batu rai). Terletak di desa Gombong 6 km sebelah selatan Kecamatan Subah. Sejauh ini belum ada investor yang mengembangkan Curug Gombong sebagai obyek wisata potensial.
·         Pantai Sigandu
Panorama menawan pantai Kota Batang di sore hari, sementara perahu nelayan pulang bersandar membongkar ikan hasil tangkapannya.
·         Upacara Nyadran
Di pantai tempat bermuaranya kali Sambong yang membelah kota ini diselenggarakan upacara selamatan pantai (nyadran) dengan arak-arakan dan lomba perahu dayung tradisional oleh seluruh nelayan di Batang. Upacara tersebut diagendakan setiap tahun bertepatan dengan hari raya Idul Fitri sebagai rasa syukur kepada Tuhan YME atas rizki yang dilimpahkan kepada umatNya.
·         Pantai Ujungnegoro
Sebuah kawasan pantai utara Batang yang terletak 14 km arah timur laut dari Kota Batang. Salah satu bagian tepi pantainya berketinggian 14 m dari permukaan air laut, yang jarang terdapat di sepanjang pantai utara Jawa. Pada dataran pantai yang tinggi terdapat Gua Aswotomo dan sebuah pemakaman kecil peninggalan Syeikh Maulana Maghribi. Di sekitar daerah ini tersedia pula tempat menarik untuk bersampan dan memancing.
·         Pantai Pelabuhan
Terletak di Desa Ketanggan Kecamatan Gringsing dengan jarak ± 50 km dari pusat kota Batang. Pantai ini baik sebagai tempat untuk memancing dan terdapat sumber air tawar di tepi pantai.
Media komunikasi antar guru sejarah SMA di Kabupaten Batang dengan sesama guru sejarah di Indonesia tentang sejarah, dan pendidikan sejarah. Kegiatan Guru Sejarah SMA se Kab Batang
Sejarah Kota Batang Dan Legenda Yang Ada Di Kota Batang

Sejarah pemerintahan

Menurut sejarah, Batang telah memiliki dua kali periode pemerintahan Kabupaten.  Periode I diawali zaman kebangkitan kerajaan Mataram Islam (II) sampai penjajahan asing, kira-kira dari awal abad 17 sampai dengan 31 Desember 1935. Sedang  periode II, dimulai awal kebangkitan Orde Baru (8 April 1966) sampai sekarang, bahkan Batang dapat ditelusuri sejak pra-sejarah. Sejak dihapuskan status Kabupaten (1 Januari 1936) sampai tanggal 8 April 1966, Batang tergabung dengan Kabupaten Pekalongan.
Tahun 1946, mulai ada gagasan untuk menuntut kembalinya status Kabupaten Batang. Ide pertama lahir dari Pak Mohari yang disalurkan melalui sidang KNI Daerah dibawah pimpinan H.Ridwan alm. Sidang bertempat di gedung bekas rumah Contrder Belanda (Komres Kepolisian 922).
Tahun 1952, terbentuk sebuah Panitia yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Batang. Panitia ini dinamakan Panitia Pengembalian Kabupaten Batang, yang bertugas menjalankan amanat masyarakat Batang.
Dalam kepanitiaan ini duduk dari kalangan badan legislatif serta pemuka masyarakat yang berpengaruh saat itu. Susunan panitianya terdiri atas RM Mandojo Dewono (Direktur SGB Batang) sebagai Ketua, R. Abutalkah dan R. Soedijono (anggota DPRDS Kabupaten Pekalongan) sebagai Wakil Ketua. Panitia juga dilengkapi dengan dua anggota yaitu R. Soenarjo (anggota DPRDS yang juga Kepala Desa Kauman) dan Rachmat (anggota DPRDS).
Tahun 1953, Panitia menyampaikan Surat Permohonan terbentuknya kembali status Kabupaten Batang lengkap satu berkas, yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno pada saat mengadakan peninjauan daerah dan menuju ke Semarang dengan jawaban akan diperhatikan.
Tahun 1955, Panitia mengutus delegasi ke pemerintah pusat, yang terdiri atas RM Mandojo Dewono, R.Abutalkah, dan Sutarto (dari DPRDS).
Tahun 1957, dikirim dua delegasi lagi. Delegasi I, terdiri atas M. Anwar Nasution (wakil ketua DPRDS), R.Abutalkah, dan Rachmat (Ketua DPRD Peralihan). Sedangkan delegasi II dipercayakan kepada Rachmat (Kepala Daerah Kabupaten Pekalongan), R.Abutalkah, serta M.Anwar Nasution.
Tahun 1962, mengirimkan utusan sekali. Utusan tersebut dipercayakan kepada M. Soenarjo (anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dan juga Wedana Batang) sebagai ketua, sebagai pelapor ditetapkan Soedibjo (anggota DPRD), serta dibantu oleh anggota yaitu H. Abdullah Maksoem dan R. Abutalkah.
Tahun 1964, dikirim empat delegasi. Delegasi I, ketuanya dipercayakan R. Abutalkah, sedang pelapor adalah Achmad Rochaby (anggota DPRD). Delegasi ini dilengkapi lima orang anggota DPRD Kabupaten Pekalongan, yaitu Rachmat, R. Moechjidi, Ratam Moehardjo, Soedibjo, dan M. Soenarjo.
Delegasi II, susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I tersebut, sebelum menyampaikan tuntutan rakyat Batang seperti pada delegasi-delegasi terdahulu, yaitu kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta diawali penyampaian tuntutan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Tengah di Semarang.
Delegasi III, yang juga susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I dan II kembali mengambil langkah menyampaikan tuntutan rakyat Batang langsung kepada Mendagri. Sedang Delegasi IV mengalami perubahan susunan keanggotaan. Dalam delegasi ini sebagai ketua R. Abutalkah, sebagai wakil ketua Rachmat, sedangkan sebagai pelapor adalah Ratam Moehardjo, Ahmad Rochaby sebagai sekretaris I, R. Moechjidi sebagai sekretaris II serta dilengkapi anggota yaitu Soedibjo dan M. Soenarjo.
Tahun 1965, diutus delegasi terakhir. Sebagai ketua R. Abutalkah, wakil ketua Rachmat, sekretaris I Achmad Rochaby, sekretaris II R. Moechjidi, pelapor Ratam Moehardjo serta dilengkapi dua orang anggota yaitu M. Soenarjo dan Soedibjo. Delegasi terakhir atau kesepuluh itu, memperoleh kesempatan untuk menyaksikan sidang paripurna DPR GR dalam acara persetujuan dewan atas Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Pemerintah Kabupaten Batang menjadi Undang-undang.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14 Juni 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli 1965.
Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari Jumat Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh berkah bagi masyarakat tradisional Batang, dengan mengambil tempat di bekas Kanjengan Batang lama (rumah dinas yang sekaligus kantor para Bupati Batang lama) dilaksanakan peresmian pembentukan Daerah Tingkat II Batang.
Upacara yang berlangsung khidmat dari jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain dengan Pernyataan Pembentukan Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Tengah Brigjend (Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH Pekalongan kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Jawa Tengah.

SEJARAH KOTA BATANG
Kota Batang, menurut legenda yang beredar di masyarakat, Batang berasal dari dua kata bahasa Jawa, 'ngembat' yang artinya mengangkat/mengambil dan 'watang' yang artinya batang kayu. Perihal mengangkat batang kayu ini erat kaitannya dengan perjuangan tentara Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia.

Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.

Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.

Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.
Raja Uling marah melihat anak buahnya dikalahkan dan membalas dengan menyerang Bahurekso menggunakan pedang sakti Swedang. Karena kesaktian pedang itu, Bahurekso dapat dikalahkan. Atas nasehat ayahanda dari Bahurekso, siasat pun dijalankan untuk mengalahkan raja Uling. Bahurekso merayu adik raja Uling yang bernama Dribusowati untuk mendapatkan pedang sakti Swedang. Rayuan berhasil dan Dribusowati setuju untuk mengambilkan pedang sakti kakaknya itu untuk diserahkan kepada Bahurekso. Dengan pedang sakti itu, dengan mudah raja Uling dikalahkan. Dengan demikian, tidak ada lagi siluman yang merusak bendungan tersebut.

Satu masalah lagi yang harus dipecahkan agar bendungan itu dapat mengalirkan air ke areal persawahan karena nampaknya, air bendungan tidak mengalir lancar untuk melakukan tugasnya. Ternyata, ditemukan satu batang kayu (Jawa: watang) yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh-puluh orang berusaha mengangkat batang kayu tersebut namun tidak berhasil. Bahurekso pun menggunakan kesaktiannya untuk mengangkat/mengambil (Jawa: ngembat) batang kayu (Jawa: watang) tersebut dengan sekali angkat.

Demikianlah kisah asal muasal kota Batang. Dialek setempat menyebut Batang sebagai Mbatang.

Adapula Versi Lain Yang Menceritakan Tentang  Legenda Kota Batang
Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo, karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempalek dari Kesesi untuk melamar Dewi Rantan Sari.
Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso. Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan Sari.
Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.
Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian tersebut.
Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua pohon besar yang ada di alas Roban.
Sebenarnya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
Akibat dari penebangan pohon-pohon hutan yang besar-besar tersebut, bau, maka banyak bangkai-bangkai siluman berupa batang-batang (istilah Jawa) yang terapung di sungai, setelah hujan besar, sejak saat itu maka tempat tersebut disebut BATANG yang sekarang disebut Kota Batang.

LEGENDA THR KRAMAT

Kramat merupakan salah satu tempat rekreasi di Kabupaten Batang yang cukup dikenal, berlokasi di Kecamatan Batang tepatnya di Kelurahan Proyonanggan Selatan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Pada hari-hari libur dan setiap hari Jum’at Kliwon, tempat tersebut dipadati para pengunjung baik domestik maupun daerah lain.
Bagi golongan tua yang meyakini suatu kepercayaan tertentu memiliki arti tersendiri yang melalatar belakangi kehadirannya ke tempat tersebut, sedangkan para generasi muda pada umumnya hanya bermotif hiburan belaka.
Menurut para tetua (sesepuh) adat Batang, mengatakan bahwa tempat tersebut dinamakan Kramat karena di sana terdapat banyak petilasan, baik berbentuk bekas pemujaan nenek moyang pada jaman bahari, tempat istirahat seorang tokoh/panutan, tempat memberi wejangan pesalatan dan bahkan beberapa makam tokoh lengkap ada di seputar Kramat tersebut.
Oleh para anggota masyarakat tradisional, tempat-tempat seperti itu dianggap kramat, sehingga pantas apabila tempat di seputar sugai Lojahan yang juga dikenal sebagai sungai Kramat, Sambong atau Klidang itu yang memanjang dari Utara ke Selatan dan berbatasan dengan desa Kecepak dan Pasekaran itu disebut Kramat.
Dari hal-hal tersebutlah, mungkin yang menjadikan Bupati pertama Kanjeng Raden Adipati Batang ( R. Prawiro ) berkenan memberikan nama lokasi itu dengan nama “Kramat”.
Lebih lanjut para tetua (sesepuh) adat Batang mengemukakan secara kronologis, mengapa daerah tersebut disebut Kramat, menurut mereka, dahulu disekitar bendungan Kendungdowo (lama) terdapat sebuah batu yang terkenal oleh masyarakat setempat sebagai “watu angkrik “ dan sampai sekarang peninggalan lain yang bisa dilihat yaitu ‘Watu Ambon”. Kedua batu tersebut diduga dahulu digunakan oleh nenek moyang kita jaman pra sejarah sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.
Pada perkembangan agama Islam pertama di Pulau Jawa, kawasan tersebut diyakini pernah dilalui Sunan Kalijaga semasa beliau menjalankan tugas dari Sunan Bonang untuk berdakwah di lingkungan Pulau Jawa bagian Barat, begitu pula dahulu Sunan Kalijaga saat berguru di Bumi Cirebon singgah di daerah yang kelak dinamakan Kramat.
Dikemukakan pula oleh para tetua (sesepuh)  adat Batang bahwa dua orang dari negeri Arab, yaitu seorang yang bergelar Syekh dan Sayid, dengan tekun mengembnagkan syiar Islam di wilayah Kramat dan sekitarnya, keduanya wafat dan dikebumikan di makam di desa Pasekaran. Bahkan oleh para tetua (sesepuh ) adat Batang tersebut meyakini pula bahwa seorang ulama besar dahulu pernah menjalankan syiar Islam di seputar kawasan Kramat tersebut.
Kini di sekitar lokasi Kramat, sudah ditunjang dengan sarana peningkatan jalan, ada bendungan baru dan pembenahan lokasi, taman hiburan dengan pembangunan fisik serta jenis-jenis hiburan yang dipergelarkan sehingga merubah tradisi tersebut.

LEGENDA KRAMAT KAITANNYA DENGAN BHAHUREKSO

Kaitan legenda Kramat dengan Bhahurekso (pejabat tinggi pada pemerintahan Sultan Agung) dari Mataram 1613 – 1645 M), amat erat dan mendalam sekali, dikemukakan oleh sesepuh adat, di sekitar wilayah Kedunggowok (sebelelah Utara Kedung Dowo) disanalah pernah terjadi peristiwa penting, yaitu awal terjadinya Kabupaten Batang.
Pada waktu itu ajang perjuangan dimaksud, terjadi menjelang masa Sultan Agung (1613 M), yaitu saat Bhahurekso membantu Menteri Pamajengan Sasak Layangsari membasmi perampok pimpinan Drubekso yang mengaku “raja” di wilayah kekuasaannya. Kedua kekuatan tersebut berbenturan, namun jalannya alot dan seimbang sehingga oleh Bhahurekso diibaratkan bagai “ambet – ambetan watang” (mengambat galah). Dari asal ibarat ini, lahir nama Batang dan dipatrikan secara abadi sebagai nama kota serta kabupaten.
Untuk mengenang dan menghayati para pejuang dan perintis Batang tersebut, Bupati pertama Pangeran Adipati Mandurejo, mengadakan tradisi ziarah ke lokasi bekas ajang perjuangan di sekitar Keramat tersebut. Yang diikuti serta dilestarikan masyarakat setempat sampai sekarang.

LEGENDA UJUNG NEGORO

Salah satu desa di kawasan Pantai Jawa. Lingkup wilayah Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, bernama “Ujung Negoro”. Nama desa yang khas ini, menggelitik bagi para peminat, pemeran dan sejarawan, guna mengetahui latar belakang sejarahnya.
Menurut keluarga R. Soenarjo, Ujung Negoro yang merupakan salah satu kawasan pemukiman dan pemerintahan ditingkat desa, mempunyai kaitan erat dengan perkembnagan Kabupaten Batang di Batang ini.
Di Pantai yang sekarang dikenal termasuk desa Ujung Negoro ini, dahulu di abad 17 yaitu masa awal berdirinya Kabupaten Batang, oleh sumber itu dituturkan, menjadi tempat berlabuhnya jung-jung atau perahu-perahu dari negeri Cina. Dan bermula bermangkalnya “Jung-jung saka Cina” dalam bahasa daerah yang berasal dari Negeri Cina. Akhirnya tempat tersebut disebut Ujung Negoro.
Bermangkalnya perahu-perahu besar dari Cina itu menurut sumber yang sama, tidak lain milik para perampokpimpinan Baurekso. Yang mengaku berkuasa di seputar kali “Lojahan” (Sambong – Kramat ) penguasa lokal tidak mau mengakui yang dipertuan Mataram Islam itu.
Menurut Bapak R. Soedibjo Giri Soerjaham Logo, dalam majalah “Gema Pembangunan” Edisi khusus babad Pekalongan, terbitan Pemda Pekalongan, Nomor 27 Pekalongan 10 Juli 1975, disebut “Sang Tunjang Mlaya” (Teratai putih yang melayang-layang) atau “sang Raja Uling kanting”.
Sedangkan menurut penuturan sementara penduduk, Drubekso yang mengakui “Penguasa” itu, disebut Uling, sebab ia dan kawan-kawannya ternyata tangguh dan ulet dalam upaya mempertahankan kawasan yang tidak sah itu. Sementara pendapat yang lain “Uling” tidak lain berasal dari bahasa Cina yaitu “Heling”.
Menurut keluarga R. Soenarjo, lebih lanjut menuturkan bahwa daerah kekuasaan “Heling” (Uling) atau Drubikso memanjang pantai Jawa, dan kawasan Gambiran (Pekalongan) sampai Alas Roban (Timur Batang), dari hilir sungai “Lojahan” dengan benteng rahasianya (Sademan dan secara sembunyi-sembunyi, sekarang menjadi nama kampung “Sademan” desa Klidang Lor. Terus meliputi daerah-daerah sekitar : Sambong, Kedung Cina, Kedung Ringin (di Kecamatan Batang) Jung Biru dan seputar wilayah gunung Tugel (Kecamatan Wonotunggal) kekuasaan Drubikso.
Kekuasaan Drubikso beakhir, akhirnya Drubikso bisa dikalahkan oleh jaka Bau (Bhaurekso) dengan dibantu oleh pasukan Mataram, Subah, Gringsing dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Sehingga akhirnya perahu-perahu dari daratan Cina tersebut, kini hanya tinggal kenangan sejarah, tidak mengakui lagi Ujung Negoro seperti apa yang terjadi pada jaman dahulu.

ASAL MULA DESA KLIDANG

Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, menyuruh Raden Bhahu untuk menebang hutan. Guna dijadikan pemukiman. Antara Subah sampai Pekalongan.
Pada saat melaksankan tugasnya untuk menebang hutan, Raden Bhahu (Bhahurekso) berjalan menyusuri sungai, sampai suatu saat beliau tertidur di pinggir sungai karena kelelahan. Pada keesokan harinya air sungai tiba-tiba pasang, beliaupun terbangun dan segera bangun ke tempat yang lebih tingi. Tetapi setelah sampai di dataran yang lebih tinggi, beliau terkejut ketika akan melanjutkan tugasnya untuk menebang hutan, ketika itu pedang yang biasa dibawanya itu hilang. Kemudian beliau mencarinya di pinggir sungai yang waktu itu untuk beristirahat.
Sehari, berhari-hari dan berminggu-minggu sampai hampir satu bulan Raden Bahu mencari pedangnya, tapi pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan pencariannya, karena masih banyak tugas yang menanti di pundaknya, sebelum Raden Bahu pergi, beliau memberi nama daerah di sekitar sungai itu dengan sebutan KLIDANG yang berasal dari sebutan kata ( Kali ) dalam bahasa Indonesia yang artinya sungai dan ( Pedang ). Daerah ini berada di sebelah Utara di Kabupaten Batang.

LEGENDA DUKUH ROWOSUKO

(Dukuh Rowosuko, Desa Rowobelang, Kec. Batang, Kab. Batang)
Pada jaman dahulu, dukuh Rowosuko adalah sebuah tempat yang belum dihuni oleh manusia dan ditumbuhi rerumputan liar serta pohon-pohon besar.
Konon Dukuh Rowosuko ditemukan oleh Eyang Surgi(Hasan Surgi Jati Kusumo). Eyang Surgi adalah seorang Kyai yang berkelana dan menemukan tempat itu. Eyang Surgi membersihkan rerumputan liar dan menebang sebagian pohon untuk dijadikan rumah atau tempat peristirahatan. Kegiatan sehari-hari eyang Surgi adalah bercocok tanam, mengubah lahan yang ditumbuhi rumput liar menjadi kebun dan sawah.
Selang beberapa lama tersiar kabar bahwa ada seorang Kyai yang menghuni dusun kecil yang makmur. Kemudian orang-orang berdatanag untuk mencari ilmu dan meminta perlindungan kepada Eyang Surgi. Orang-orang pendatang membuat rumah dan menjadikan lahan-lahan kosong untuk bercocok tanam. Eyang Surgi dijadikan sebagai pemuka di dusun itu. Orang-orang patuh dan taat pada ajaran Eyang Surgi. Namun, dusun kecil itu belum diberi nama, yang kemudian oleh Eyang Surgi diberi nama Rowosuko.
Konon diberi nama Rowosuko itu karena di sawah milik Eyang Surgi terdapat pohoh besar yang bernama pohon Soko. Pada suatu hari ada hujan dan badai sehingga menumbangkan pohon Soko tersebut. Pohon Soko itu tumbang ke sawah milik eyang Surgi. Karena pohon Soko yang sangat besar itu tidak ada seorangpun yang mampu mengambil batang kayunya.
Lambat laun batang kayu soko itu lapuk di sawah milik Eyang Surgi. Kemudian daerah itu diberi nama Rowosoko, dari kata Rowo yang berarti sawah dan soko yang berarti pohon soko. Karena perkembangan jamankata Rowosoko diucapkan Rowosuko. Dan pohon Soko itu telah punah. Karena jumlah pohon Soko yang sedikit, kemudian di tebang untuk dijadikan rumah dan kayu bakar. Sehingga pada saat ini tidak ditemukan pohon soko di daerah Rowosuko.
Dusun Rowosuko adalah dusun kecil sehingga menyatu dengan dusun Krengseng dan Rowobelang membentuk satu desa. Karena kelurahannya ada di Rowobelang sehingga di sebut desa Rowobelang.
Bukti adanya Eyang Surgi sebagai penemu dukuh Rowo Suko adalah makam Eyang Surgi yang berada di pemakaman dukuh Rowosuko yang terletak di Rowosuko Kulon.
Menurut adat setempat setiap bulan Dzulkaidah atau legeno, warga desa mengadakan sedekah bumi dan harus diiringi dengan tontonan wayang kulit. Menurut kepercayaan masyarakat, tontonan wayang kulit tersebut untuk menghormati arah Eyang Surgi. Adat istiadat tersebut telah dilakukan turun temurun, hingga saat ini adat istiadat tersebut masih dilkukan oleh warga setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar